Minggu, 20 Januari 2013

A Cup of Love


            
            Banyak sekali hal yang ingin kubagi dengan Elsiee ,seperti kemarin aku baru saja membeli sebuah seprai bermotif bunga daffodil,salah satu jenis bunga yang ia sukai dengan background warna hijau  segar atau saat aku bertemu seseorang yang sangat mirip dengan cinta pertamaku dan bisa saja aku bercerita soal Minggu lalu ketika aku berhasil mendapat kesuksesan saat mempresentasikan mata kuliah favorit kami berdua.Masih banyak sekali cerita yang ingin kubagi padanya,mungkin begitupun juga dengannya,sudah lama kami tidak berbincang seperti biasanya saat jam kuliah kosong atau saat hari-hari libur tiba.Aku merindukannya,mungkin begitu juga  sebaliknya.Aku begitu sedih saat ingatan-ingatan tentangnya muncul;kami biasa membeli crepes dan es krim beraneka rasa(tapi lebih sering aku memilih rasa susu melon dan ia memilih rasa pisang) di taman pusat kota,setiap dua Minggu sekali di hari Kamis kami juga biasa memetik bunga-bunga di hutan buatan di kampus  lalu merangkainya menjadi rangkaian bunga indah yang kemudian kami bagikan pada anak-anak yang kami temui di perjalanan pulang,atau hal yang paling kami sukai adalah berkunjung ke perkebunan buah di dekat tempat kami,membantu para petani buah memetik buah-buahan yang sudah siap panen atau memangkas dedauan yang sudah mengering yang masih bertengger di ranting-ranting pohonnya.
            Baru-baru ini kami juga mencanangkan gerakan novel impian untuk menyalurkan hobi kami berdua yang sama yaitu menulis.Aku dan Elsiee membuat satu judul novel yang ceritanya diambil gabungan dari pikiranku dan pikirannya,kami sudah menyelesaikan dua novel dengan tebal masing-masing 228 dan 217 halaman.Kedua novel itu kami buat sebagai novel berseri dengan judul “A Part of My Astonish Life” yang bercerita tentang persahabatan antara seorang gadis kecil dengan makhluk asing yang juga menjadi musuh bagi manusia,termasuk keluarga si gadis kecil, Egret Olaff . Kami sangat bersemangat ketika menyusun cerita dalam novel pertama kami,sampai-sampai kegiatan menyenangkan ini berhasil membuatku terlupa akan tugas-tugas kuliah yang sudah menumpuk beberapa hari. Anehnya akupun sering penasaran dengan kelanjutan ceritanya,karena tiap aku menyelesaikan bagianku,Elsiee selalu berhasil membuat ceritanya berlanjut dengan amat menarik. Kedua novel itu memang masih berbentuk bendelan buku tulis,tapi kami tak sabar lagi untuk segera mencoba membawanya ke penerbitan buku kecil di arah timur kota Momentous ,kota di sebelah kota tempat tinggal kami sendiri.Saat ini kami mungkin sudah berangkat ke perusahaan penerbitan bernama Agleam Carat Inc tersebut jika Elsiee ada di sini,dan mencoba bernegoisasi dengan penyeleksi buku di sana. Sebenarnya rencana keberangkatan ini sudah lama terpikirkan,tapi kami memerlukan beberapa dollar untuk biaya perjalanan. Dan akhirnya aku berhasil mengumpulkan uang untuk biaya perjalanan tersebut,bahkan aku telah menyiapkan bagian untuk Elsiee juga. Well, tapi mungkin rencana itu harus ditunda sebentar,aku akan menunggu hingga Elsiee kembali dan kami akan berangkat sesegera mungkin. Aku hanya perlu memastikan bahwa Elsiee akan kembali. Tak peduli bagaimana kenyatannya nanti.
            Radian ore selalu lezat jika dihidangkan selagi masih panas,apalagi dibubuhi dengan bubuk kayu manis dan ditemani dengan segelas vanilla yang dikeringkan kemudian ditumbuk menjadi serpihan kemudian dicairkan.Aku dan Sheath selalu menikmatinya di sore hari di beranda rumah dengan memandangi hamparan bunga-bunga angle sphinx yang berwarna putih dan ungu.Bunga-bunga kecil itu selalu mengundang kupu-kupu beraneka warna datang pada mereka,hal inilah yang membuat kami enggan melewatkan sore hari bersama. Banyak hal yang menjadi bahan perbincangan kami  sepenuh sore itu,mulai dari nilai ujian Sheath yang naik turun,tentang vespa bekas yang baru dibelinya di flea market ,atau tentang baju barunya yang seharga delapan dollar yang warna dan modelnya ternyata mirip dengan seragam petugas kebersihan kampus di peternakan-peternakan pinggir kota(Sheath masuk jurusan peternakan). Sedangkan aku hanya berperan sebagai pendengar yang baik karena aku tidak memiliki cerita semenarik dan selucu yang ia kisahkan. Sheath remaja sepertiku yang akan segera memasuki usia dewasa awal,tubuhnya kekar dan lebih tinggi beberapa senti dariku,pembawaannya tenang tetapi sebagai tipe humoris juga.
            Hari ini adalah hari Jumat,besok aku bisa libur dan pulang ke rumah,bertemu dengan Sheath menikmati radian ore di Minggu sore kami.Betapa bahagianya hatiku ketika teringat hal itu,maka di hari perkuliahan yang terakhir ini  akan kumaksimalkan semangatku untuk bertemu dengan tiga mata kuliah yang masing-masing sebanyak 3 SKS. Jadi ada jam Mr.Mee, Mrs.Judith dan Mrs.Angelica,hm..tidak terlalu parah,mungkin aku hanya perlu menyiasati bagaimana cara mengusir kantuk saat Mrs.Judith ‘berkhotbah’.Seperti biasa beliau akan menerangkan ini itu tanpa menatap mahasiswanya di depan,aku bisa leluasa mendengarkannya sambil menulis,meneruskan cerita yang telah aku dan Elsiee ciptakan.
            “Kau masih menulis itu?”
Aku mendongak . Darell menatap tulisanku yang sudah memenuhi satu halaman,aku  tersenyum.
            “Aku tak suka membaca asal kau tahu,tapi melihat kau semangat seperti itu..”ia terdiam,kemudian meneruskan,”ah tidak,bahkan semangat sekali sejak semester ini dimulai, aku penasaran ingin membacanya,”ia menopang dagu dengan tangan kanannya sambil menatapku,membuatku terkesiap,
            “Kau mau membaca karya kami?ah maksudku karya Elsiee dan aku,”
            Tentu saja Darell tidak mengenali siapa Elsiee.
            “Siapa Elsiee?”tanyanya sambil menguap,
            “Sahabatku,adikku,kakak perempuanku juga,”jawabku mantap,membereskan pena-pena yang berserakan di samping kertas,
            “Jadi ada 3 Elsiee ?”ia menggaruk kepalanya yang sepertinya tak gatal.
            “Bukan,tentu saja tidak,hanya ada satu Elsiee yang teristimewa merangkap tiga status itu,”kataku setengah terbahak melihat ekspresinya.
            “Pelankan suaramu,Mrs.Judy itu walaupun matanya tak pernah lepas pada buku tebalnya,tapi telinganya sangat peka,”Darell seakan tahu aku melihat ekspresi anehnya,yang kemudian ia mengalihkan rasa malunya dengan menakutiku.Aku masih terkikik.
Darell teman sekelasku di jam Mrs.Judith,otomatis kami hanya bertemu sekali dalam sepekan.Ia adalah mahasiswa jurusan Tata Kota,kami hanya bertemu di mata kuliah umum.Ia mahasiswa yang unik dan ‘antik’,karena selama aku mengikuti mata kuliah bersamanya,ekspresi yang ia tampilkan hanya ekspresi innocence atau bisa dibilang acuh . Terkadang ia memilih bangku paling belakang paling pojok dekat jendela untuk melihat ke luar,tanpa memedulikan sekitarnya. Penampilannya biasa saja,tapi ia sering memakai sneakers  warna biru metalik .Baju-bajunya juga memiliki warna yang enerjik,seperti silver millennium,hijau tua yang menyala,ungu pekat,maroon dan biru tua. Aku belum pernah sekalipun melihatnya mengenakan pakaian berwarna hitam atau putih. Rambutnya yang meskipun tidak rapi karena menutup telinga tetap terlihat keren ,berwarna coklat ,sepadan dengan warna iris matanya.Sekalipun bicara, ia hanya akan mengomentari hasil diskusi .Atau biasanya ia hanya mengobrol dengan Clark,mahasiswa jurusan seni musik dan Gabby ,mahasiswa jurusan elektronika. Mereka berdua mengambil jadwal mata kuliah umum yang sama dengan kami.
Aku dan Darell mencuri pandang kalau-kalau Mrs.Judith memergoki tawaku yang sempat meledak tadi. Tapi ternyata tidak,Darell kemudian merogoh saku bajunya kemudian mengeluarkan earphone berwarna abu-abu lalu menyumpal kedua  telinganya dengan speaker mikro itu.Ia mendengarkan music.
“Jadi,kapan aku bisa meminjamnya?”tanyanya tiba-tiba, mengejutkan.
Kupikir ia sudah lupa dengan lembaran-lembaran kertas putih di atas mejaku,hanya sekedar basa-basi tepatnya. Tapi ia kembali pada ekspresi innocence –nya seperti saat pertama kali aku melihatnya di kelas ini dua bulan lalu.
“Kau benar-benar ingin?”tanyaku meyakinkannya,lebih pada meyakinkan diriku sendiri .
“Oh,kalau boleh tentu saja,”ia bersidekap .
Mukaku terasa hangat mendengarnya,”Sangat boleh,aku memiliki potongan-potongannya di rumah,Minggu depan akan kubawa untukmu,”aku tersenyum,ia mengangguk pelan,kemudian focus kembali pada music yang mengalir di telinganya.
Aku disadarkan oleh suara Mrs. Judith yang terdengar sangat jelas,”Sampai bertemu lagi Minggu depan.”Ia lalu membereskan buku-buku tebalnya,kemudian membetulkan posisi kacamatanya sebentar,setelah itu dengan langkah gontai keluar dari kelas. Dengan segera mahasiswa lain mengikutinya,termasuk Darell dengan langkah khas darinya yang  hampir mirip dengan langkah seorang anak malas bangun dari tidurnya. Aku menatapnya hingga punggungnya lenyap di balik pintu. Kalau saja Chrissie tidak menepuk bahuku,mungkin aku masih saja duduk di sana hingga pergantian jam.
“Kau mau di sini saja seharian?”ia terdiam sebentar sambil memasang muka sedang berpikir,”dan coba tebak siapa tadi yang kau lihat?”
            Segera saja telingaku terasa panas mendengarnya,”Dan kau mau kehabisan jatah paperoni tuna?”hardikku cepat.
            “Oh,tentu tidak!”celetuknya,lupa dengan urusannya denganku,aku terkikik pelan.
            Chrissie satu jurusan denganku.Gadis itu memiliki perawakan sedang,tidak kurus tapi juga tidak gemuk. Tapi selama aku mengenalnya, sudah kuputuskan bahwa ia tipe ‘pelapar’ sepertiku juga. Karena ke manapun kami pergi bersama, kami pasti memburu makanan dengan porsi lumayan besar. Rambutnya yang coklat kemerahan terlihat kontras dengan warna kulitnya yang pucat. Orang-orang selalu menyebutnya dengan wig berjalan karena ia memiliki rambut keriting yang menggelombang. Aku pun tak heran dengan sebutan itu.
            Kami lalu berjalan beriringan menuju kantin sambil mengobrol seperti biasa. Cuaca begitu panas siang ini, baju katun yang kukenakan pun terasa lembab. Mahasiswa-mahasiswa  dari berbagai jurusan yang satu fakultas denganku perlahan mulai memenuhi tiap sudut taman,ada yang menggerombol dan ada pula yang hanya berdua-dua saja dengan teman atau pasangan mereka. Tak peduli dengan ‘keramahan’sinar matahari yang memandikan tubuh ,tetap saja mereka asyik bercengkrama,tertawa lepas sekenanya,atau sambil melahap makanan-makanan ringan seperti biscuit dan kue basah. Meski suhu tak bersahabat,angin sejuk yang menemani hari ini sudah lebih dari cukup untuk menghibur. Apalagi ditambah dengan pemandangan khas kampus yang selalu kunikmati sejak pertama kali aku menginjakkan kaki di sini. Bagiku menjadi seorang warga sebuah kampus adalah sesuatu yang dapat memberikan kebahagaiaan tersendiri,karena sejak kecil aku selalu bermimpi bisa segera menjadi seperti saat ini. Keinginan untuk menjadi seorang mahasiswa begitu menggebu ketika aku mulai dekat dengan saudara sepupuku yang saat itu adalah seorang mahasiswa jurusan sastra bahasa.
            Ketika itu umurku belum genap sembilan tahun. Ayah dan Ibu terlalu sibuk bekerja dan mengurus nenek yang mulai sakit,sedangkan saat itu aku belum memiliki seorang adik. Sepulang sekolah aku selalu dititipkan di rumah kakak ayah yang pertama,namanya Paman Brawny . Ia tinggal bersama istri dan ketiga anaknya di sebuah rumah yang indah berwarna ungu dengan pintu dan jendela berwarna putih,rumah itu juga selalu bersih karena ada Bibi Brawny yang rajin merapikan segala sesuatu di sana. Mulai dari memangkas rumput di taman,mengusap hiasan porselen di dinding dan lantai di ruang tamu,menyapu halaman, mengelap jendela,kaca pintu dan mengepel lantai. Rumah itu juga selalu wangi,dulu aku selalu menerka-nerka aroma harum apa itu. Namun baru belakangan ini aku mengetahui bahwa aroma harum itu berasal dari bunga double O yang diletakkan di setiap sudut ruang dan taman. Bunga itu selalu tumbuh dengan baik di sana,anehnya ketika Ibu menanamnya di rumah,hanya sebulan sampai tiga bulan bunga itu bisa bertahan,selepas itu pasti kelopaknya berguguran dan akhirnya mati. Sedangkan jika di rumah Paman Brawny sendiri,bunga itu bias tumbuh tak mengenal waktu,hanya pada saat musim dingin,bunga itu menyisakan aromanya yang begitu menyejukkan meski kelopaknya berguguran.Jika musim dingin usai,bunga itu akan kembali bermekaran dengan cantiknya. Aneh bukan? Namun tidak ada yang tahu alasan apa sebenarnya yang bias membuatnya seperti itu.
Jadi begitu setiap hari,kulewatkan waktu di rumah Paman dan Bibi Brawny yang letaknya hanya beberapa blok dari rumahku sendiri . Kecuali hari Sabtu dan Minggu,karena pada hari itu Ayah dan Ibu libur bekerja . Bisa dipastikan setiap hari Senin hingga Jumat aku selalu membawa pakaian ganti ke sekolah untuk kukenakan nanti di rumah pamanku itu. Kalian tahu kegiatan apa saja yang kulakukan di sana? Ada banyak sekali kegiatan yang dapat kulakukan untuk mengisi waktuku sepulang sekolah,seperti menggambar-Paman Brawny memiliki banyak sekali kertas gambar besar karena ia seorang arsitek-,memasak-Bibi Brawny selalu siap sedia memberiku bahan-bahan memasak dan menemaniku di dapur untuk melatihku agar bisa memasak sendiri,atau mengerjakan PR bersama Heron-putra sulung Paman dan Bibi yang ingin kuceritakan tadi. Sesekali aku juga bermain dengan Melody yang pandai menggambar dan menari,ia adalah putri kedua Paman Brawny yang usianya terpaut delapan tahun denganku.Saat itu usia Arnold ,putra bungsu Paman Brawny sama denganku tapi aku justru jarang bermain dengannya.Meski sesekali kami bergabung lalu bermain ada saja hal yang dapat membuat kami bertengkar,mungkin usia kami yang sama membuat kami sering tak mau kalah satu sama lain.Jadi aku lebih memilih bergabung dengan Heron atau Melody. Mungkin karena mereka lebih tua dariku,itu yang membuatku nyaman,alasan lain adalah karena aku sudah mengaggap mereka sebagai kakak kandungku sendiri,begitupun dengan mereka. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar